BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi yang sedang berlangsung dewasa ini,
Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain
persaingan ketat dalam perdangan internasional sebagai konsekuensi pasar bebas
di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai
masalah kehidupan, termasuk matinya produk-produk perdangan lokal, bahkan
pabrik-pabrik teksil dalam negeri, karena tidak mampu bersaing dengan produk
luar. Contohnya: kalau jalan-jalan ke swalayan, dapat kita saksikan berapa
prosen produk dalam negeri yang dipasarkan, bahkan mencari jeruk Garut atau
apel Malang saja sudah susah.
Menghadapi tantangan dan permasalahan tersebut,
pendidikan harus berorientasi sesuai dengan kondisi dan tuntutan itu, agar output pendidikan dapat mengikuti
perkembangan yang terjadi. Dalam kondisi ini, manajemen birokratik sentralistik
yang telah menghasilkan pola penyelenggaraan pendidikan yang seragam dalam
berbagai kondisi lokal yang berbeda untuk berbagai lapisan masyarakat yang
berbeda, tidak bisa dipertahankan lagi. Dikatakan demikian, karena muatan dan
proses pembelajaran di sekolah selama ini menjadi miskin variasi, berbasis pada
standar nasional yang kaku, dan diimplementasikan di sekolah atas dasar petunjuk-petunjuk
yang cenderung serba detail. Di samping itu, peserta didik dievaluasi atas
dasar akumulasi pengetahun yang telah diperolehnya, sehingga orang tua tidak
mempunyai variasi pilihan atas jasa pelayanan pendidikan bagi anak-anaknya,
sumber-sumber pembelajaran di “dunia” nyata dan unggulan daerah tidak
dimanfaatkan bagi kepentingan pendidikan di sekolah, dan lulusan hanya mampu
menghafal tanpa memahami.
Tantangan masa depan yang beberapa indikatornya telah
nampak akhir-akhir ini, menuntut manusia yang mandiri, sehingga peserta didik
harus dibekali dengan kecakapan hidup (life
skill) melalui muatan, proses pembelajaran dan aktivitas lain di sekolah.
Kecakapan hidup di sini tidak semata-mata terkait dengan motif ekonomi secara
sempit, seperti keterampilan untuk bekerja, tetapi menyangkut aspek sosial-Tari
seperti cakap, berdemokrasi, ulet, dan memilii Tari belajar sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan yang berorientasi kecapakan hidup pada hakekatnya
adalah pendidikan untuk membentuk watak dan etos.
Perkembangan
global saat ini juga menuntut dunia pendidikan untuk selalu mengubah konsep
berpikirnya. Konsep lama mungkin sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat
ini, lebih-lebih untuk yang akan datang. Untuk itulah, perubahan selalu
dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman.
Belajar adalah proses penambahan pengetahun. Konsep
ini muncul pada pengertian paling awal. Namum pandangan ini, ternyata masih
berlaku bagi sebagian orang di negeri ini. Dengan pijakan konsep ini, belajar
seolah-olah hanya penjejalan ilmu pengetahun kepada siswa.
Pandangan ini tidak terlu salah karena pada
kenyataannya bahwa belajar itu menambah pengetahun kepada anak didik. Namum
demikian, konsep ini masih sangat parsial, telalu sempit, dan menjadikan siswa
sebagai individu-individu yang pasif dan repesif. Siswa layaknya sebuah benda
kosong yang perlu diisi sampai penuh tanpa melihat potensi yan g sebenarnya
sudah ada pada siswa.
Pendidikan formal saat ini ditandai dengan adanya
perubahan yang berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir ini ditandai dengan
adanya suatu perubahan (inovasi).
Perubahan pada hakekatnya adalah sesuatu hal yang wajar karena perubahan itu
adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan manusiawi. Hanya ada dua alternatif
pilihan yaitu menghadapi tantangan yang ada di dalamnya atau mencoba
menghindarinya. Jika perubahan direspon positif akan menjadi peluang dan jika
perubahan direspon negatif akan menjadi arus kuat yang menghempaskan dan
mengalahkan kita.
Dalam
proses pembelajaran yang menyangkut materi, metode, media alat peraga dan
sebagainya harus juga mengalami perubahan kearah pembaharuan (inonvasi). Dengan adanya inovasi
tersebut di atas dituntut seorang guru untuk lebih kreatif dan inovatif, terutama
dalam menentukan model dan metode yang tepat akan sangat menentukan
keberhasilan siswa terutama pembentukan kecakapan hidup (life skill) siswa yang berpijak pada lingkungan sekitarnya.
Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut di
atas, maka dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis mengambil judul Meningkatkan Prestasi Belajar Seni Tari Dengan
Menerapan Model Pengajaran Kolaborasi Pada Siswa-Siswi
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis
merumuskan permasalahnnya sebagi berikut:
- Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Seni Tari dengan diterapkannya model pengajaran kolaborasi pada siswa Kelas , Tahun Pelajaran 2013/2014?
- Bagaimanakah pengaruh model pengajaran kolaborasi terhadap motivasi belajar Seni Tari pada siswa Kelas , Tahun Pelajaran 2013/2014?
C. Pemecahan Masalah
Metode pemecahana masalah dalam penelitian ini yaitu
dengan menerapkan model pembelajaran kolaborasi. Dengan menerapkan model
pembelajaran ini diharapkan prestasi belajar siswa dapat meningkat.
D. Batasan Masalah
- Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa Kelas , tahun pelajaran 2013/2014.
- Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret semester genap tahun pelajaran 2013/2014.
- Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan Mengapresiasi karya seni tari.
E. Tujuan Penelitian
- Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
deskripsi tentang peningkatan prestasi siswa Kelas dalam mempelajari Seni Tari khususnya pada pokok
bahasan Mengapresiasikan karya seni tari.
- Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a.
Ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar Seni Tari
setelah diterapkannya strategi pembelajaran ekspositori pada siswa Kelas t, tahun pelajaran 2013/2014.
b.
Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar Seni Tari setelah
diterapkan strategi pembelajaran ekspositori pada siswa Kelas , tahun pelajaran 2013/2014.
c.
Menyempurnakan pelaksanaan pembelajaran Seni Tari dalam
meningkatkan prestasi belajar pada siswa Kelas t, tahun
pelajaran 2013/2014.
F. Hasil yang Diharapkan dan Manfaat
Penelitian
- Hasil yang Diharapkan
Dari penelitian ini diharapkan adanya peningkatan
proses kegiatan belajar mengajar dan peningkatan prestasi belajar Seni Tari khususnya pada pokok bahasan Mengapresiasikan
karya seni tari siswa Kelas , tahun pelajaran 2013/2014
- Manfaat Hasil Penelitian
Adapun maksud penulis mengadakan penelitian ini
diharapkan dapat berguna sebagai:
a.
Menambah pengetahun dan wawasan penulis tentang peranan
guru Seni Taridalam meningkatkan pemahaman siswa belajar Seni Tari .
b.
Sumbangan pemikiran bagi guru Seni Tari dalam mengajar
dan meningkatkan pemahaman siswa belajar Seni Tari .
c.
Proses belajar mengajar Seni Taritidak lagi monoton.
d.
Ditemukannya strategi pembelajaran yang tepat, tidak
konvensional tetapi variatif.
e.
Keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas mandiri maupun
kelompok meningkat.
f.
Kualitas pembelajaran Seni Tari meningkat.
g.
Prestasi belajar untuk Seni Tari meningkat.
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul
penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal sebagai berikut:
- Model pengajaran kolaborasi adalah:
Suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama
dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.
- Motivasi belajar adalah:
Suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi
perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau
keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk
berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
- Prestasi belajar adalah:
Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor,
setelah siswa mengikuti pelajaran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
- Definisi Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang
atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh
pengalaman. (KBBI, 1996:14).
Sependapat dengan pernyataan tersebut Soetomo
(1993:68) mengemukakan bahwa belajar adalah proses pengelolaan lingkungan
seseorang dengan sengaja dikalukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk
melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Sedangkan belajar
adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan tingkah laku yang bukan
disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisik, tetapi perubahan dalam
kebiasaan, kecakapan, bertambah pengetahun, bekembang daya pikir, sikap dan
lain-lain (Sutomo, 1993:120).
Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang
menyebabkan siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan
kegiatan pada situasi tertentu.
- Motivasi Belajar
a.
Konsep Motivasi
Pengajaran tradisional menitik beratkan pada metode
imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting
oleh guru bagi murid (Hamalik, 2001:157). Cara ini tidak mempertimbangkan
apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan,
kebutuhan, minat, dan tingkat kesanggupan, serta pemahaman murid. Tidak pula
diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif-motif
dan tujuan yang ada pada murid.
Sejak adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang
psikologi tentang kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan
dalam bidang ilmu pendidikan maka pandangan tersebut kemudian berubah. Faktor
siswa didik justru menjadi unsur yang menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran
berdasarkan “, minat” anak makan, pakaian, permainan/bekerja. Kemudian menyusul
tokoh pendidikan lainnya seperti Dr. John Dewey, yang terkenal dengan
“pengajaran proyeknya”, yang berdasarkan pada masalah yang menarik minat siswa,
sistem persekolahan lainnya. Sehingga sejak itu pula para ahli berpendapat,
bahwa tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu, dan perbuatan
belajar akan berhasil apabila didasarkan pada motivasi yang ada pada murid.
Murid dapat dipaksa untuk mengikuti semua perbuatan, tetapi ia tidak dapat
dipaksa untuk menghayati perbuatan itu sebagaimana mestinya. Seekor kuda dapat
digiring ke sungai tetapi tidak dapat dipaksa untuk minum. Demikian pula juga
halnya dengan murid, guru dapat memaksakan bahan pelajaran kepada mereka, akan
tetapi guru tidak mungkin dapat memaksanya untuk belajar belajar dalam arti
sesungguhnya. Inilah yng menjadi tugas yang paling berat yakni bagaimana
caranya berusaha agar murid mau belajar, dan memiliki keinginan untuk belajar
secara kontinyu.
b.
Pengertian Motivasi
Motif adalah daya dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan sesuatu, atau keadaan seseorang atau organisme
yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau
perbuatan. Sedangkan motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif
menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah
lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:28).
Sedangkan menurut Djamarah (2002:114) motivasi adalah
suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas
nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat
diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak
akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Nur (2001:3) bahwa siswa yang termotivasi dalam belajar
sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari
materi itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan
lebih baik.
Jadi motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong
seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
c.
Macam-macam Motivasi
Menurut jenisnya motivasi dibedakan menjadi dua, yaitu
motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik
1)
Motivasi Intrinsik
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam individu,
apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga
dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar
(Usman, 2000:29).
Sedangkan
menurut Djamarah (2002:115), motivasi instrinsik adalah motif-motif yang
menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam
setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Winata ada beberapa strategi dalam mengajar
untuk membangun motivasi intrinsik (Erriniati, 1994:105). Strategi tersebut
adalah sebagai berikut:
a)
Mengaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa.
b)
Memberikan kebebasan dalam memperluas materi pelajaran
sebatas yang pokok.
c)
Memberikan banyak waktu ekstra bagi siswa untuk
mengerjakan tugas dan memanfaatkan sumber belajar di sekolah.
d)
Sesekali memberikan penghargaan pada siswa atas
pekerjaannya.
e)
Meminta siswa untuk menjelaskan hasil pekerjaannya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi
instrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam individu yang berfungsinya
tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang yang memiliki motivasi intrinsik
dalam dirinya maka secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak
memerlukan motivasi dari luar dirinya.
2)
Motivasi Ekstrinsik
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari
luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang
lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu
atau belajar. Misalnya seseorang mau belajar karena ia disuruh oleh orang
tuanya agar mendapat peringkat pertama dikelasnya (Usman, 2000:29).
Sedangkan menurut Djamarah (2002:117), motivasi
ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah
motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar.
Beberapa cara membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam
menumbuhkan motivasi instrinsik antata lain:
a)
Kompetisi (persaingan): guru berusaha menciptakan
persaingan diantara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha
memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya dan mengatasi prestasi
orang lain.
b)
Pace Making
(membuat tujuan sementara atau dekat): Pada awal kegiatan belajar mengajar
guru, hendaknya terlebih dahulu menyampaikan kepada siswa yang akan dicapai
sehingga dengan demikian siswa berusaha untuk mencapai tersebut.
c)
Tujuan yang jelas: Motif mendorong individu untuk
mencapai tujuan. Makin jelas tujuan, makin besar nilai tujuan bagi individu
yang bersangkutan dan makin besar pula motivasi dalam melakukan sesuatu
perbuatan.
d)
Kesempurnaan untuk sukses: Kesuksesan dapat menimbulkan
rasa puas, kesenangan dan kepercayaan terhadap diri sendiri, sedangkan
kegagalan akan membawa efek yang sebaliknya. Dengan demikian, guru hendaknya
banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses dengan usaha
mandiri, tentu saja dengan bimbingan guru.
e)
Minat yang besar: Motif akan timbul jika individu
memiliki minat yang besar.
f)
Mengadakan penilaian atau tes.
Pada umumnya semua siswa mau belajar dengan tujuan
memperoleh nilai yang baik. Hal ini terbukti dalam kenyataan bahwa banyak siswa
yang tidak belajar bila tidak ada ulangan. Akan tetapi, bila guru mengatakan
bahwa lusa akan diadakan ulangan lisan, barulah siswa giat belajar dengan
menghafal agar ia mendapat nilai yang baik. Jadi, angka atau nilai itu
merupakan motivasi yang kuat bagi siswa.
Dari uraian di atas diketahui bahwa motivasi ekstrinsik
adalah motivasi yang timbul dari luar individu yang berfungsinya karena adanya
perangsang dari luar, misalnya adanya persaingan, untuk mencapai nilai yang
tinggi, dan lain sebagainya.
- Meningkatkan Motivasi Belajar Seni Tari Pada Siswa
Telah disepakati oleh ahli pendidikan bahwa guru
merupakan kunci dalam proses belajar mengajar. Bila hal ini dilihat dari segi
nilai lebih yang dimiliki oleh guru dibandingkan dengan siswanya. Nilai lebih
ini dimiliki oleh guru terutama dalam ilmu pengetahun yang dimiliki oleh guru
bidang studi pengajarannya. Walalu demikian nilai lebih itu tidak akan dapat
diandalkan oleh guru, apabila ia tidak memiliki teknik-teknik yang tepat untuk
mentransferkan kepada siswa. Disamping itu kegiatan mengajar adalah suatu aktivitas
yang sangat kompleks, karena itu sangat sukar bagi guru Seni Taribagaimana
caranya mengajar dengan baik agar dapat meningkatkan motivasi siswa dalam
belajar Seni Tari .
Untuk merealisasikan keinginan tersebut, maka ada
beberapa prinsip umum yang harus dipengang oleh guru Seni Taridalam menjalankan
tugasnya. Menurut Prof. DR. S. Nasution, prinsip-prinsip umum yang harus
dipengang oleh guru Seni Taridalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut:
a.
Guru yang baik memahami dan menghormati siswa.
b.
Guru yang baik harus menghormati bahan pelajaran yang
diberikannya.
c.
Guru hendaknya menyesuaikan bahan pelajaran yang
diberikan dengan kemampuan siswa.
d.
Guru hendaknya menyesuaikan metode mengajar dengan
pelajarannya.
e.
Guru yang baik mengaktifkan siswa dalam belajar.
f.
Guru yang baik memberikan pengertian, bukan hanya
dengan kata-kata belaka. Hal ini untuk menghindari verbalisme pada murid.
g.
Guru menghubungkan pelajaran pada kehidupan siswa.
h.
Guru terikat dengan texs
book.
i.
Guru yang baik tidak hanya mengajar dalam arti
menyampaikan pengetahun, melainkan senantiasa membentuk kepribadian siswanya.
Sehubungan dengan upaya meningkatkan motivasi belajar
siswa ada dua prinsip yang harus diperhatiakn oleh guru sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thomas F. Saton sebagai berikut:
a.
Menyelidiki dengan jelas dan tegas apa yang diharapkan
dari pelajaran untuk dipelajari dan mengapa ia diharapkan mempelajarinya.
b.
Menciptakan kesadaran yang tinggi pada pelajaran akan
pentingnya memiliki skill dan pengetahun yang akan diberikan oleh program
pendidikan itu.
Dari prinsip-prinsip umum di atas, menunjukkan bahwa
peranan guru Seni Taridalam mengajar Seni Tari dapat dikatakan sangat dominan,
begitu pula dalam meningkatkan motivasi belajar siswa tampaknya guru yang
mengetahui akan kemampuan siswa-siswanya baik secara individual maupun secara
kelompok, guru mengetahui persoalan-persoalan belajar dan mengajar, guru pula
yang mengetahui kesulitan-kesuliatan siswa terhadap pelajaran Seni Taridan
bagaimana cara memecahkannya.
4.
Prestrasi
Belajar
a.
Pengertian Belajar
Pengertian
belajar sudah banyak dikemukakan dalam kepustakaan. Yang dimaksud belajar yaitu
perbuatan murid dalam bidang material, formal serta fungsional pada umumnya dan
bidang intelektual pada khususnya. Jadi belajar merupakan hal yang pokok.
Belajar merupakan suatu perubahan pada sikap dan tingkah laku yang lebih baik,
tetapi kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk.
Untuk
dapat disebut belajar, maka perubahan harus merupakan akhir dari pada periode
yang cukup panjang. Berapa lama waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan
pasti, tetapi perubahan itu hendaklah merupakan akhir dari suatu periode yang
mungkin berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan
nyata proses itu terjadi dalam diri seserorang yang sedang mengalami belajar.
Jadi yang dimaksud dengan belajar bukan tingkah laku yang nampak, tetapi
prosesnya terjadi secara internal di dalam diri individu dalam mengusahakan
memperoleh hubungan-hubungan baru.
b.
Pengertian Prestasi Belajar
Sebelum
dijelaskan pengertian mengenai prestasi belajar, terlebih dahulu akan dikemukakan
tentang pengertian prestasi. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Dengan
demikian bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang
setelah melakukan sesuatu pekerjaan/aktivitas tertentu.
Jadi
prestasi adalah hasil yang telah dicapai oleh karena itu semua individu dengan
adanya belajar hasilnya dapat dicapai. Setiap individu belajar menginginkan
hasil yang yang sebaik mungkin. Oleh karena itu setiap individu harus belajar
dengan sebaik-baiknya supaya prestasinya berhasil dengan baik. Sedang
pengertian prestasi juga ada yang mengatakan prestasi adalah kemampuan.
Kemampuan di sini berarti yan dimampui individu dalam mengerjakan sesuatu.
5. Pedoman
Cara Belajar
Untuk memperoleh
prestasi/hasil belajar yang baik harus dilakukan dengan baik dan pedoman cara
yang tapat. Setiap orang mempunyai cara atau pedoman sendiri-sendiri dalam
belajar. Pedoman/cara yang satu cocok digunakan oleh seorang siswa, tetapi
mungkin kurang sesuai untuk anak/siswa yang lain. Hal ini disebabkan karena
mempunyai perbedaan individu dalam hal kemampuan, kecepatan dan kepekaan dalam
menerima materi pelajaran.
Oleh karena itu tidaklah
ada suatu petunjuk yang pasti yang harus dikerjakan oleh seorang siswa dalam
melakukan kegiatan belajar. Tetapi faktor yang paling menentukan keberhasilan
belajar adalah para siswa itu sendiri. Untuk dapat mencapai hasil belajar yang
sebaik-baiknya harus mempunyai kebiasaan belajar yang baik.
- Memperkenalkan Belajar Aktif
Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan:
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya lihat, saya ingat.
Yang saya kerjakan, saya pahami.
Tiga pertanyaan sederhana ini berbicara banya tentang perlunya metode
belajar aktif.
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat.
Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau
diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami. Dari yang saya dengar, lihat,
bahas dan terapkan, saya dapatkan pengetahun dan keterampilan. Yang saya
ajarkan kepada orang lain, saya kuasai. (Silberman, 2004:15).
Ada sejumlah alasan mengapa sebagian besar orang
cenderung lupa tentang apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling
menarik ada kaitannya dengan tingkat kecepatan bicara guru dan tingkat
kecepatan pendengaran siswa.
Pada umumnya guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga
200 kata permenit. Tetapi beberapa kata-kata yang dapat ditangkap siswa dalam
per menitnya? Ini tentunya juga bergantung pada cara mereka mendengarkannya.
Jika siswa benar-benar berkonsentrasi, mereka akan dapat mendengarkan dengan
penuh perhatian terhadap 50 sampai 100 kata per menit, atau setengah dari apa
yang dikatakan guru. Itu karena siswa juga berpikir banyak selama mereka
mendengarkan. Akan sulit menyimak guru yang bicaranya nyerocos. Besar
kemungkinan, siswa tidak bisa konsentrasi karena, sekalipun materinya menarik,
berkonsentrasi dalam waktu yang lama memang bukan perkara mudah. Penelitian
menunjukkan bahwa siswa mampu mendengarkan (tanpa memikirkan) dengan kecepatan
400 hingga 500 kata per menit. Ketika mendengarkan dalam waktu berkepanjangan
terhadap seorang guru yang berbicara lambat, siswa cenderung menjadi jenuh, dan
pikiran mereka mengembara entah ke mana.
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam
suatu perkualiahan bergaya-ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama
40% dari seluruh waktu kuliah (Pollio,1984) (dalam Sileberman, 2004:16.
Mahasiswa dapat mengingat 70 persen dalam sepuluh menit pertama kuliah,
sedangkan dalam sepuluh menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% materi
kuliah mereka (McKeachie, 1986) (dalam Silberman, 2004:16). Tidak heran bila
mahasiswa dalam kualiah psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya
mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum
pernah mengikuti kuliah itu (Richard, dkk., 1989) (dalam Silberman, 2004:16).
Bayangkan apa yang bisa didapatkan dari pemberian kuliah dengan cara seperti
itu di perguruan tinggi.
Dua figur terkenal dalam gerakan kooperatif, Divid dan
Roger Jonson, bersama Karl Smith, mengemukakan beberapa persoalan berkenaan
dengan perkuliahan yang berkepanjangan (Johnson, Johnson & Smith, 1991)
(dalam Silberman, 2004:17).
·
Perhatian mahasiswa menurun seiring berlalunya
waktu.
·
Cara kuliah macam ini hanya menarik bagi peserta
didik auditori.
·
Cara ini cenderung mengakibatkan kurangnya proses
belajar mengajar tentang informasi faktual.
·
Cara ini mengasumsikan bahwa mahasiswa
memerlukan informasi yang sama dengan langkah penyampaian yang sama dengan
langkah penyampaian yang sama pula.
·
Mahasiswa cenderung tidak menyukainya.
Dengan menambahkan media Visual pada pemberian
pelajaran, ingatan akan meningkat dari 14 hingga 38 persen (Pike, 1989) (dalam
Silberman, 2004:17). Penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan hingga 200
persen ketika digunakan media Visual dalam mengajarkan kosa kata. Tidak hanya
itu, waktu yang diperlukan untuk menyajikan sebuah konsep dapat berkurang
hingga 40 persen ketika media Visual digunakan untuk mendukung presentasi
lisan. Sebuah gambar barangkali tidak memiliki ribuan kata, namun ia tiga kali
lebih efektif ketimbang kata-kata saja.
Ketika pengajaran memiliki dimensi auditori dan Visual,
pesan yang diberikan akan menjadi lebih kuat berkat kedua sistem penyampaian
itu. Juga, sebagian siswa, seperti akan kita bahas nanti. Lebih menyukai satu
cara penyampaian ketimbang cara yang lain. Dengan menggunakan keduanya, kita
memiliki peluang yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa tipe
siswa. Namum demikian belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau
melihat sesuatu.
- Bagaimanakah Otak Bekerja
Otak kita tidak bekerja seperti piranti audio atauvidiotape
recorder. Informasi yang masuk akan secara kontinyu dipertanyakan. Otak kita
mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Pernahkan saya mendengar atu melihat
informasi ini sebelumnya?
Di bagian manakah informasi itu cocok? Apa yang bisa saya
lakukan terhadapnya?
Dapatkah saya asumsikan bahwa ini merupakan gagasan yang
sama yang saya dapatkan kemarin atau bulan lalu atau tahun lalu?
Otak tidak
sekedar menerima informasi, ia mengolah. Untuk mengolah informsi secara
efektif, ia akan terbantu dengan melakukan perenungan semacam itu secara
eksternal juga internal. Otak kita akan melakukan tugas proses belajar yang
lebih baik jika kita membahas informasi dengan orang lain dan jika kita diminta
mengajukan pertanyaan tentang itu. Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss
(1987) (dalam Silberman, 2004:18) meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman
sebangkunya tentang apa yang dijelaskan oleh guru pada beberapa jeda waktu yang
disediakan selama pelajaran berlangsung. Dibandingkan dengan siswa dalam kelas
pembanding yang tidak diselingi diskusi, siswa-siswi ini mendapatkan nilai
dengan selisih dua angka lebih tinggi.
Akan lebih baik lagi jika kita dapat melakukan sesuatu
terhadap informasi itu, dan dengan demikian kita bisa mendapat umpan balik
tentang seberapa bagus pemahaman kita. Menurut John Holt (1967) (dalam
Silbermanb, 2004:19), proses belajar akan meningkat jika siswa dinima untuk
melakukan berikut ini.
a.
Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka
sindiri.
b.
Memberikan contohnya.
c.
Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi.
d.
Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau
gagasan lain.
e.
Menggunakannya dengan beragam cara.
f.
Memprekdisikan sejumlah konsekuensinya.
g.
Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
Dalam banyak hal, otak tidak begitu berbeda dengan
sebuah computer, dan kita adalah pemakainya. Sebuah computer terntunya perlu
di-“on“-kan untuk bisa digunakan.
Otak kita juga demikian. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, otak kita tidak
“on”. Sebuah computer membutuhkan software yang tepat untuk
menginterpretasikan data yang diasumsikan. Otak kita perlu mengaitkan antara
apa yang dimasukkan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang diajarkan
kepada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan dengan cara kita berpikir.
Ketika proses belajar sifatnya pasif, otak tidak melakukan pengkaitan ini
dengan software pikiran kita.
Ujung-ujungnya, computer tidak dapat mengakses kembali informasi yang dia olah
bila tidak terlebih dahulu “disimpan”. Otak kita perlu menguji informasi,
mengikhtisarkannya, atau menjelaskan kepada orang lain untuk dapat menyimpannya
dalam bank ingatannya. Ketika proses belajar bersifat pasif, otak tidak
menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya.
Apa yang terjadi ketika guru menjejali siswa dengan
pemikiran mereka sendiri (betapapun meyakinkan dan tertatanya pemikitan mereka)
atau ketika guru terlalu sering menggunakan penjelasan dan pemeragaan
(demonstrasi) yang disertai ungkapan, “begini lho caranya”? Menuangkan fakta
dan konsep ke dalam benak siswa dan menunjukan keterampilan dan prosedur dengan
cara yang kelewat menguasai justru akan mengganggu proses belajar. Cara
menyajikan informasi akan menimbulkan kesan langsung di otak, namun tanpa
memori fotografis, siswa tidak akan mendapatkan banyak hal baik dalam waktu
lama maupun sebentar.
Tentu saja, proses belajar sesungguhnya bukanlah
semata kegiatan menghafal. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam
beberapa jam. Memperlajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang
telah diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak
dapat dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya,
mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermana. Tanpa peluang untuk
mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktekan, dan barangkali bahkan
mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar yang sesungguhnya tidak
akan terjadi.
Lebih lanjut, belajar bukanlah kegiatan sekali tembak.
Proses belajar berlangsung secara bergelombang. Belajar memerlukan kedekatan
dengan materi yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahaminya. Belajar
juga memerlukan kedekatan dengan berbagai macam hal, bukan sekedar pengulangan
atau hafalan. Sebagi contoh, pelajaran Seni Tari bisa diajarkan dengan media
yang konkret, melalui buku-buku latihan, dan dengan mempraktekan dalam kegiatan
sehari-hari. Masing-masing cara dalam menyajikan konsep akan menentukan
pemahaman siswa. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kedekatan itu
berlangsung. Jika ini terjadi pada peserta didik, dia akan merasakan sedikit
keterlibatan mental. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti
pelajaran tanpa rasa keingintahun, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat
terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang akan dia peroleh). Ketika
kegiatan belajar sifat aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Dia menginginkan
jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah,
atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.
- Gaya Belajar
Kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik
memiliki bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik
hanya dengan melihat orang lain melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai
penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang
dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu
oleh kebisingan. Perserta didik Visual ini berbeda dengan peserta didik
auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang
dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan kemampuan untuk
mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan
mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik
kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka
cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran, mereka
mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu.
Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tida karuan.
Tentu saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak
memiliki satu jenis cara belajar. Grinder (1991) (dalam Silberman, 2004:22)
menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar
dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi
antara Visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa siswanya sedemikan
menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya. Sehingga mereka
mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam
menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang mereka sukai. Guna memenuhi
kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh dengan variasi.
Kalangan pendidikan juga mencermati adanya perubahan
cara belajar siswa. Selama lima belas tahun terakhir, Schroeder dan koleganya
(1993) (dalam Silberman, 2004:22) telah menerapkan indikator tipe Myer-Briggs
(MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah satu instrumen yang paling
banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk memahami fungsi perbedaan individu
dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa
yang masuk memiliki orientasi praktis ketimbang teoritis terhadap pembelajaran,
dan persentase itu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat
dalam pengalaman langsung dan konkret daripada mempelajari konsep-konsep dasar
terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain MBTI lainnya, jelas
Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar
yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrak, dengan rasio
lima banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan
mengajar aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru
harus menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil,
presentasi dan debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman
lapangan, simulasi, dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa
siswa masa kini “bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan
belajar bersama.”
Temuan-temuan ini dapat dianggap tidak mengejutkan
bila kita mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern. Dimasa kini siswa
dibesarkan dalam dunia yang segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak
pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar begitu menghentak merdu, dan
warna-warna terlihat begitu semarak dan menarik. Obyek, baik yang nyata maupun
yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah segala sesuatu dari satu
kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas.
- Sisi Sosial Proses Belajar
Karena siswa masa kini menghadapi dunia di mana
terdapat pengetahun yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa
mengalami kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada
kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan yang satu
berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang
dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memiliki keamanan ketimbang
pertumbuhan. Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa sepenuhnya
kebutuhan untuk mencapai sesuatu mengambil resiko, dan menggali hal-hal baru.
Pertumbuhan berjalan dengan langkah-langkah kecil, menurut Maslow, dan “tiap
langkah maju hanya dimungkin akan bila ada rasa aman, yang mana ini merupakan
langkah ke depan dari suasana rumah yang aman menuju wilayah yang belum
diketahui” (Maslow, 1968) (dalam Silberman, 2004:24).
Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman
adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok.
Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan.
Ketika mereka belajar bersama teman, bukannya sendirian, mereka mendapatkan
dukungan emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang
pengetahun dan keterampilan mereka yang sekarang.
Jerome Bruner membahas sisi sosial proses belajar dama
buku klasiknya, Toward a Theory of
Instruction. Dia menjelaskan tentang “kebutuhan mendalam manusia untuk
merespon orang lain dan untuk bekerjasama dengan mereka guna mencapai tujuan,”
yang mana hal ini dia sebut resiprositas (hubungan
timbal balik). Bruner berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi
yang bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan
bersama, dan di mana resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai suatu
tujuan, disitulah terdapat proses yang membawa individu ke dalam pembelajaran
membimbingnya untuk mendapatkan kemampuan yang diperlukan dalam pembentukan
kelompok” (Bruner, 1966) (dalam Silberman, 2004:24).
Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner mengurusi perkembangan
metode belajar kolaboratif yng sedemikian popular dalam lingkup pendidikan masa
kini. Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut
untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus
untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka menjadi cenderung lebih
telibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya bersama
teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk
membicarakan apa yang mereka alami bersama teman, yang mengarah kepada
hubungan-hubungan lebih lanjut.
Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar
aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar
aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan
apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk
memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Metode belajar bersama
yang terbaik, semisal pelajaran menyusun gambar (jigsaw), memenuhi persyaratan
ini. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa akan mendorong mereka untuk
tidak hanya belajar bersama, namun juga mengajarkan satu sama lain.
- Model Pembelajaran Kolaborasi
Pembelajaran kolaboratif (Colaborative Learning) merupakan model pembelajaran yang menerapkan
paradigma baru dalam teori-teori belajar (Yufiarti:2003) (dalam Sulhan,
2006:69). Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu model pembelajaran
dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil
untuk mencapai tujuan yang sama.
Pendekatan kolaboratif bertujuan agar siswa dapat
membangun pengetahunnya melalui dialog, saling membagi informasi sesama siswa
dan guru sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan mental pada tingkat
tinggi. Model ini digunakan pada setiap mata pelajaran terutama yang mungkin
berkembangkan sharing of information
di antara siswa.
Belajar kolaboratif digambarkan sebagai suatu model
pengajaran yang mana para siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil
untuk mencapai tujuan yang sama. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
belajar kolaboratif, para siswa bekerja sama menyelesaikan masalah yang sama,
dan bukan secara individual menyelesaikan bagian-bagian yang terpisah dari
masalah tersebut. Dengan demikian, selama berkolaborasi para siswa bekerja sama
membangun pemahaman dan konsep yang sama menyelesaikan setiap bagian dari
masalah atau tugas tersebut.
Pendekatan kolaboratif dipandang sebagai proses
membangun dan mempertahankan konsepsi yang sama tentang suatu masalah. Dari
sudut pandang ini, model belajar kolaboratif menjadi efisien karena para
anggota kelompok belajar dituntut untuk berpikir secara interaktif. Para ahli
berpendapat bahwa berpikir bukanlah sekedar memanipulasi objek-objek mental,
melainkan juga interaksi dengan oran glain dan dengan lingkungan.
Dalam kelas yang menerapkan model kolaboratif, guru
membagi otoritas dengan siswa dalam berbagai cara khusus. Guru mendorong siswa
untuk menggunakan pengetahun mereka, menghormati rekan kerjanya, dan
memfokuskan diri pada pemahaman tingkat tinggi.
Peran guru dalam model pembelajaran kolaboratif adalah
sebagai mediator. Guru menghubungkan informasi baru terhadap pengalaman siswa
dengan proses belajar di bidang lain, membantu siswa menentukan apa yang harus
dilakukan jika siswa mengalami kesulitan, dan membantu mereka belajar tentang
bagaimana caranya belajar. Lebih dari itu, guru sebagai mediator menyesuaikan
tingkat informasi siswa dan mendorong agar siswa memaksimalkan kemampuannya
untuk bertanggung jawab atas proses belajar mengajar selanjutnya.
Sebagai mediator, guru menjalani tiga peran, yaitu
berfungsi sebagai falisitator, model, dan pelatih. Sebagai fasilitator, guru
menciptakan lingkungan dan kreativitas yang kaya guna membantu siswa membangun
pengetahunnya. Dalam rangka menjankan peran ini, ada tiga hal pula yang harus
dikerjakan. Pertama, mengatur
lingkungan fisik, termasuk pengaturan tata letak perabot dalam ruangan serta
persediaan berbagai sumber daya dan peralatan yang dapat membantu proses
belajar mengajar siswa. Kedua,
menyediakan lingkungan sosial yang mendukung proses belajar siswa, seperti
mengelompokkan siswa secara heterogen dan mengajak siswa mengembangkan struktur
sosial yang mendorong munculnya perilaku yang sesuai untuk kolaborasi
antarsiswa. Ketiga, guru memberikan
tugas memancing munculnya interaksi antarsiswa dengan lingkungan fisik maupun
sosial di sekitarnya. Dalam hal ini, guru harus mampu memotivasi anak.
Peran sebagai model dapat diwujudkan dengan cara
membagi pikiran tentang suatu hal (thinking
aloud) atau menunjukkan pada siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu
secara bertahap (demonstrasi)
(Sulhan, 206:70-71) Di samping itu, menunjukkan pada siswa bagaimana cara
berpikir sewaktu melalui situasi kelompok yang sulit dan melalui masalah
komunikasi adalah sama pentingnya dengan mencontohkan bagaimana cara membuat
perencanaan, memonitor penyelesaian tugas, dan mengukur apa yang sudah
dipelajari.
Peran guru sebagai pelatih mempunyai prinsip utama,
yaitu menyediakan bantuan secukupnya pada saat siswa membutuhkan sehingga siswa
tetap memegang tanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri. Hal ini
dilakukan dengan memberikan petunjuk dan umpan balik, mengarahkan kembali usaha
siswa, serta membantu mereka menggunakan strategi tertentu.
Salah satu ciri penting dari kelas yang menerapkan
model pembelajaran kolaboratif adalah siswa tidak dikotak-kotakan berdasarkan
kemampuannya, minatnya, ataupun karakteristik lainnya. Pengkotakan tersebut
dinilai menghambat munculnya kolaborasi dan mengurangi kesempatan siswa untuk
belajar bersama siswa lain. Dengan demikian, semua siswa dapat belajar dari
siswa lain dan tidak ada siswa yang tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan
masukan dan menghargai masukan yang diberikan orang lain.
Model kolaboratif dapat digambarkan sebagai berikut.
Ketika terjadi kolaborasi, semua siswa aktif. Mereka saling berkomunikasi
secara alami. Dalam sebuah kelompol yang terdiri atas 4 sampai 6 anak, di sana
guru sudah membuat rancangan agar siswa yang satu dengan yang lain bisa
berkolaborasi. Dalam kelompok yang sudah ditentukan oleh guru, fasilitas yang
ada pun diusahakan anak mampu berkolaborasi. Misalnya, dalam kelompok yang
terdiri atas 4 sampai 6 tersebut seorang guru hanya menyiapkan 2 sampai 3 kotak
alat mewarna yang dipakai secara bergantian. Dengan harapan, setiap siswa bisa
bekomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan komunikasi aktif antar siswa,
akan terjalin hubungan yang baik dan saling menghargai. Alat tersebut bukan
milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik bersama. Setiap anak tidak merasa
memiliki secara pribadi, tetapi bisa dipakai bersama. Pada saat yang sama
mempunyai keinginan untuk memakainya maka akan terjadi komunikasi yang alami
dengan penggunaan santun bahasa. Dalam kondisi seperti ini seorang guru hanya
mengamati cara kerja siswa dan cara berkomunikasi serta menjadi pembimbing saat
siswa memerlukan bantuan.
Untuk kolaborasi dalam sebuah mata pelajaran, seorang
guru memberikan tugas secara kelompok dengan tujuan yang sama. Setiap siswa
dalam kelompok saling berkolaborasi dengan membagi pengalaman. Dari pengalaman
yang dimiliki oleh masing-masing kelompok, disimpulkan secara bersama. Dalam
hal ini, guru berperan sebagai pembimbing dan membagi tugas supaya diskusi
kelompok bisa berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah (1) pengertian pembelajaran, (2) motivasi belajar meliputi motivasi
intrinsic dan motivasi ekstrinsik, (3) model pembelajaran kolaborasi.
- Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup
belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu,
berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI,
1996:14).
- Motivasi Belajar
a.
Motivasi Instrinsik
Motivasi instrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam individu yang
berfungsinnya tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang yang memiliki
motivasi instrinsik dalam dirinya maka secara sadar akan melakukan suatu
kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya.
b.
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbbul dari luar individu yang
berfungsinya karena adanya perangsang dari luar, misalnya adanya persaingan,
untuk mencapai nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.
- Model Pembelajaran Kolaborasi
Pembelajaran kolaboratif (Colaborative Learning) merupakan model pembelajaran yang menerapkan
paradigma baru dalam teori-teori belajar. Pendekatan ini dapat digambarkan
sebagai suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja
sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.
0 komentar:
Post a Comment