SMP NEGERI 2 SUSUT

PTK Meningkatkan Prestasi Belajar Seni Tari Dengan Menerapan Model Pengajaran Kolaborasi Pada Siswa-Siswi

Written By Bangli Era Baru on Wednesday, July 10, 2019 | 7:50 AM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi yang sedang berlangsung dewasa ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain persaingan ketat dalam perdangan internasional sebagai konsekuensi pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai masalah kehidupan, termasuk matinya produk-produk perdangan lokal, bahkan pabrik-pabrik teksil dalam negeri, karena tidak mampu bersaing dengan produk luar. Contohnya: kalau jalan-jalan ke swalayan, dapat kita saksikan berapa prosen produk dalam negeri yang dipasarkan, bahkan mencari jeruk Garut atau apel Malang saja sudah susah.

Menghadapi tantangan dan permasalahan tersebut, pendidikan harus berorientasi sesuai dengan kondisi dan tuntutan itu, agar output pendidikan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi. Dalam kondisi ini, manajemen birokratik sentralistik yang telah menghasilkan pola penyelenggaraan pendidikan yang seragam dalam berbagai kondisi lokal yang berbeda untuk berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, tidak bisa dipertahankan lagi. Dikatakan demikian, karena muatan dan proses pembelajaran di sekolah selama ini menjadi miskin variasi, berbasis pada standar nasional yang kaku, dan diimplementasikan di sekolah atas dasar petunjuk-petunjuk yang cenderung serba detail. Di samping itu, peserta didik dievaluasi atas dasar akumulasi pengetahun yang telah diperolehnya, sehingga orang tua tidak mempunyai variasi pilihan atas jasa pelayanan pendidikan bagi anak-anaknya, sumber-sumber pembelajaran di “dunia” nyata dan unggulan daerah tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pendidikan di sekolah, dan lulusan hanya mampu menghafal tanpa memahami.
Tantangan masa depan yang beberapa indikatornya telah nampak akhir-akhir ini, menuntut manusia yang mandiri, sehingga peserta didik harus dibekali dengan kecakapan hidup (life skill) melalui muatan, proses pembelajaran dan aktivitas lain di sekolah. Kecakapan hidup di sini tidak semata-mata terkait dengan motif ekonomi secara sempit, seperti keterampilan untuk bekerja, tetapi menyangkut aspek sosial-Tari seperti cakap, berdemokrasi, ulet, dan memilii Tari belajar sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan yang berorientasi kecapakan hidup pada hakekatnya adalah pendidikan untuk membentuk watak dan etos.
      Perkembangan global saat ini juga menuntut dunia pendidikan untuk selalu mengubah konsep berpikirnya. Konsep lama mungkin sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, lebih-lebih untuk yang akan datang. Untuk itulah, perubahan selalu dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman.
Belajar adalah proses penambahan pengetahun. Konsep ini muncul pada pengertian paling awal. Namum pandangan ini, ternyata masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini. Dengan pijakan konsep ini, belajar seolah-olah hanya penjejalan ilmu pengetahun kepada siswa.
Pandangan ini tidak terlu salah karena pada kenyataannya bahwa belajar itu menambah pengetahun kepada anak didik. Namum demikian, konsep ini masih sangat parsial, telalu sempit, dan menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif dan repesif. Siswa layaknya sebuah benda kosong yang perlu diisi sampai penuh tanpa melihat potensi yan g sebenarnya sudah ada pada siswa.
Pendidikan formal saat ini ditandai dengan adanya perubahan yang berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir ini ditandai dengan adanya suatu perubahan (inovasi). Perubahan pada hakekatnya adalah sesuatu hal yang wajar karena perubahan itu adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan manusiawi. Hanya ada dua alternatif pilihan yaitu menghadapi tantangan yang ada di dalamnya atau mencoba menghindarinya. Jika perubahan direspon positif akan menjadi peluang dan jika perubahan direspon negatif akan menjadi arus kuat yang menghempaskan dan mengalahkan kita.
      Dalam proses pembelajaran yang menyangkut materi, metode, media alat peraga dan sebagainya harus juga mengalami perubahan kearah pembaharuan (inonvasi). Dengan adanya inovasi tersebut di atas dituntut seorang guru untuk lebih kreatif dan inovatif, terutama dalam menentukan model dan metode yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan siswa terutama pembentukan kecakapan hidup (life skill) siswa yang berpijak pada lingkungan sekitarnya.
Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis mengambil judul Meningkatkan Prestasi Belajar Seni Tari Dengan Menerapan Model Pengajaran Kolaborasi Pada Siswa-Siswi 
B.     Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahnnya sebagi berikut:
  1. Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Seni Tari dengan diterapkannya model pengajaran kolaborasi pada siswa Kelas  , Tahun Pelajaran 2013/2014?
  2. Bagaimanakah pengaruh model pengajaran kolaborasi terhadap motivasi belajar Seni Tari pada siswa Kelas , Tahun Pelajaran 2013/2014?
C.    Pemecahan Masalah
Metode pemecahana masalah dalam penelitian ini yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kolaborasi. Dengan menerapkan model pembelajaran ini diharapkan prestasi belajar siswa dapat meningkat.
D.    Batasan Masalah
  1. Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa Kelas , tahun pelajaran 2013/2014.
  2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret semester genap tahun pelajaran 2013/2014.
  3. Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan Mengapresiasi karya seni tari.
E.     Tujuan Penelitian
  1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang peningkatan prestasi siswa Kelas  dalam mempelajari Seni Tari khususnya pada pokok bahasan Mengapresiasikan karya seni tari.
  1. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a.       Ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar Seni Tari setelah diterapkannya strategi pembelajaran ekspositori pada siswa Kelas t, tahun pelajaran 2013/2014.
b.      Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar Seni Tari setelah diterapkan strategi pembelajaran ekspositori pada siswa Kelas  , tahun pelajaran 2013/2014.
c.       Menyempurnakan pelaksanaan pembelajaran Seni Tari dalam meningkatkan prestasi belajar pada siswa Kelas t, tahun pelajaran 2013/2014.
F.     Hasil yang Diharapkan dan Manfaat Penelitian
  1. Hasil yang Diharapkan
Dari penelitian ini diharapkan adanya peningkatan proses kegiatan belajar mengajar dan peningkatan prestasi belajar Seni Tari  khususnya pada pokok bahasan Mengapresiasikan karya seni tari siswa Kelas , tahun pelajaran 2013/2014
  1. Manfaat Hasil Penelitian
Adapun maksud penulis mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
a.       Menambah pengetahun dan wawasan penulis tentang peranan guru Seni Taridalam meningkatkan pemahaman siswa belajar Seni Tari  .
b.      Sumbangan pemikiran bagi guru Seni Tari dalam mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa belajar Seni Tari  .
c.       Proses belajar mengajar Seni Taritidak lagi monoton.
d.      Ditemukannya strategi pembelajaran yang tepat, tidak konvensional tetapi variatif.
e.       Keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas mandiri maupun kelompok meningkat.
f.       Kualitas pembelajaran Seni Tari meningkat.
g.      Prestasi belajar untuk Seni Tari meningkat.
G.    Definisi Operasional
Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Model pengajaran kolaborasi adalah:
Suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.
  1. Motivasi belajar adalah:
Suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
  1. Prestasi belajar adalah:
Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran.






BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A.    Kajian Pustaka
  1. Definisi Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. (KBBI, 1996:14).
Sependapat dengan pernyataan tersebut Soetomo (1993:68) mengemukakan bahwa belajar adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang dengan sengaja dikalukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Sedangkan belajar adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan tingkah laku yang bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisik, tetapi perubahan dalam kebiasaan, kecakapan, bertambah pengetahun, bekembang daya pikir, sikap dan lain-lain (Sutomo, 1993:120).
Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang menyebabkan siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu.
  1. Motivasi Belajar
a.       Konsep Motivasi
Pengajaran tradisional menitik beratkan pada metode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid (Hamalik, 2001:157). Cara ini tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan, kebutuhan, minat, dan tingkat kesanggupan, serta pemahaman murid. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif-motif dan tujuan yang ada pada murid.
Sejak adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan dalam bidang ilmu pendidikan maka pandangan tersebut kemudian berubah. Faktor siswa didik justru menjadi unsur yang menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran berdasarkan “, minat” anak makan, pakaian, permainan/bekerja. Kemudian menyusul tokoh pendidikan lainnya seperti Dr. John Dewey, yang terkenal dengan “pengajaran proyeknya”, yang berdasarkan pada masalah yang menarik minat siswa, sistem persekolahan lainnya. Sehingga sejak itu pula para ahli berpendapat, bahwa tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu, dan perbuatan belajar akan berhasil apabila didasarkan pada motivasi yang ada pada murid. Murid dapat dipaksa untuk mengikuti semua perbuatan, tetapi ia tidak dapat dipaksa untuk menghayati perbuatan itu sebagaimana mestinya. Seekor kuda dapat digiring ke sungai tetapi tidak dapat dipaksa untuk minum. Demikian pula juga halnya dengan murid, guru dapat memaksakan bahan pelajaran kepada mereka, akan tetapi guru tidak mungkin dapat memaksanya untuk belajar belajar dalam arti sesungguhnya. Inilah yng menjadi tugas yang paling berat yakni bagaimana caranya berusaha agar murid mau belajar, dan memiliki keinginan untuk belajar secara kontinyu.
b.      Pengertian Motivasi 
Motif adalah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu, atau keadaan seseorang atau organisme yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan. Sedangkan motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:28).
Sedangkan menurut Djamarah (2002:114) motivasi adalah suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nur (2001:3) bahwa siswa yang termotivasi dalam belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik.
Jadi motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
c.       Macam-macam Motivasi
Menurut jenisnya motivasi dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik
1)      Motivasi Intrinsik
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar (Usman, 2000:29).
 Sedangkan menurut Djamarah (2002:115), motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Winata ada beberapa strategi dalam mengajar untuk membangun motivasi intrinsik (Erriniati, 1994:105). Strategi tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Mengaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa.
b)      Memberikan kebebasan dalam memperluas materi pelajaran sebatas yang pokok.
c)      Memberikan banyak waktu ekstra bagi siswa untuk mengerjakan tugas dan memanfaatkan sumber belajar di sekolah.
d)     Sesekali memberikan penghargaan pada siswa atas pekerjaannya.
e)      Meminta siswa untuk menjelaskan hasil pekerjaannya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam individu yang berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang yang memiliki motivasi intrinsik dalam dirinya maka secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya.
2)      Motivasi Ekstrinsik
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar. Misalnya seseorang mau belajar karena ia disuruh oleh orang tuanya agar mendapat peringkat pertama dikelasnya (Usman, 2000:29).
Sedangkan menurut Djamarah (2002:117), motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar.
Beberapa cara membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam menumbuhkan motivasi instrinsik antata lain:
a)      Kompetisi (persaingan): guru berusaha menciptakan persaingan diantara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya dan mengatasi prestasi orang lain.
b)      Pace Making (membuat tujuan sementara atau dekat): Pada awal kegiatan belajar mengajar guru, hendaknya terlebih dahulu menyampaikan kepada siswa yang akan dicapai sehingga dengan demikian siswa berusaha untuk mencapai  tersebut.
c)      Tujuan yang jelas: Motif mendorong individu untuk mencapai tujuan. Makin jelas tujuan, makin besar nilai tujuan bagi individu yang bersangkutan dan makin besar pula motivasi dalam melakukan sesuatu perbuatan.
d)     Kesempurnaan untuk sukses: Kesuksesan dapat menimbulkan rasa puas, kesenangan dan kepercayaan terhadap diri sendiri, sedangkan kegagalan akan membawa efek yang sebaliknya. Dengan demikian, guru hendaknya banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses dengan usaha mandiri, tentu saja dengan bimbingan guru.
e)      Minat yang besar: Motif akan timbul jika individu memiliki minat yang besar.
f)       Mengadakan penilaian atau tes.
Pada umumnya semua siswa mau belajar dengan tujuan memperoleh nilai yang baik. Hal ini terbukti dalam kenyataan bahwa banyak siswa yang tidak belajar bila tidak ada ulangan. Akan tetapi, bila guru mengatakan bahwa lusa akan diadakan ulangan lisan, barulah siswa giat belajar dengan menghafal agar ia mendapat nilai yang baik. Jadi, angka atau nilai itu merupakan motivasi yang kuat bagi siswa.
Dari uraian di atas diketahui bahwa motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul dari luar individu yang berfungsinya karena adanya perangsang dari luar, misalnya adanya persaingan, untuk mencapai nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.                                                                                                                            
  1. Meningkatkan Motivasi Belajar Seni Tari Pada Siswa
Telah disepakati oleh ahli pendidikan bahwa guru merupakan kunci dalam proses belajar mengajar. Bila hal ini dilihat dari segi nilai lebih yang dimiliki oleh guru dibandingkan dengan siswanya. Nilai lebih ini dimiliki oleh guru terutama dalam ilmu pengetahun yang dimiliki oleh guru bidang studi pengajarannya. Walalu demikian nilai lebih itu tidak akan dapat diandalkan oleh guru, apabila ia tidak memiliki teknik-teknik yang tepat untuk mentransferkan kepada siswa. Disamping itu kegiatan mengajar adalah suatu aktivitas yang sangat kompleks, karena itu sangat sukar bagi guru Seni Taribagaimana caranya mengajar dengan baik agar dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar Seni Tari  .
Untuk merealisasikan keinginan tersebut, maka ada beberapa prinsip umum yang harus dipengang oleh guru Seni Taridalam menjalankan tugasnya. Menurut Prof. DR. S. Nasution, prinsip-prinsip umum yang harus dipengang oleh guru Seni Taridalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut:
a.       Guru yang baik memahami dan menghormati siswa.
b.      Guru yang baik harus menghormati bahan pelajaran yang diberikannya.
c.       Guru hendaknya menyesuaikan bahan pelajaran yang diberikan dengan kemampuan siswa.
d.      Guru hendaknya menyesuaikan metode mengajar dengan pelajarannya.
e.       Guru yang baik mengaktifkan siswa dalam belajar.
f.       Guru yang baik memberikan pengertian, bukan hanya dengan kata-kata belaka. Hal ini untuk menghindari verbalisme pada murid.
g.      Guru menghubungkan pelajaran pada kehidupan siswa.
h.      Guru terikat dengan texs book.
i.        Guru yang baik tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahun, melainkan senantiasa membentuk kepribadian siswanya.
Sehubungan dengan upaya meningkatkan motivasi belajar siswa ada dua prinsip yang harus diperhatiakn oleh guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas F. Saton sebagai berikut:
a.       Menyelidiki dengan jelas dan tegas apa yang diharapkan dari pelajaran untuk dipelajari dan mengapa ia diharapkan mempelajarinya.
b.      Menciptakan kesadaran yang tinggi pada pelajaran akan pentingnya memiliki skill dan pengetahun yang akan diberikan oleh program pendidikan itu.
Dari prinsip-prinsip umum di atas, menunjukkan bahwa peranan guru Seni Taridalam mengajar Seni Tari dapat dikatakan sangat dominan, begitu pula dalam meningkatkan motivasi belajar siswa tampaknya guru yang mengetahui akan kemampuan siswa-siswanya baik secara individual maupun secara kelompok, guru mengetahui persoalan-persoalan belajar dan mengajar, guru pula yang mengetahui kesulitan-kesuliatan siswa terhadap pelajaran Seni Taridan bagaimana cara memecahkannya.
4.      Prestrasi Belajar
a.       Pengertian Belajar
Pengertian belajar sudah banyak dikemukakan dalam kepustakaan. Yang dimaksud belajar yaitu perbuatan murid dalam bidang material, formal serta fungsional pada umumnya dan bidang intelektual pada khususnya. Jadi belajar merupakan hal yang pokok. Belajar merupakan suatu perubahan pada sikap dan tingkah laku yang lebih baik, tetapi kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk.
Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan harus merupakan akhir dari pada periode yang cukup panjang. Berapa lama waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaklah merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata proses itu terjadi dalam diri seserorang yang sedang mengalami belajar. Jadi yang dimaksud dengan belajar bukan tingkah laku yang nampak, tetapi prosesnya terjadi secara internal di dalam diri individu dalam mengusahakan memperoleh hubungan-hubungan baru.
b.      Pengertian Prestasi Belajar
Sebelum dijelaskan pengertian mengenai prestasi belajar, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian prestasi. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Dengan demikian bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan sesuatu pekerjaan/aktivitas tertentu.
Jadi prestasi adalah hasil yang telah dicapai oleh karena itu semua individu dengan adanya belajar hasilnya dapat dicapai. Setiap individu belajar menginginkan hasil yang yang sebaik mungkin. Oleh karena itu setiap individu harus belajar dengan sebaik-baiknya supaya prestasinya berhasil dengan baik. Sedang pengertian prestasi juga ada yang mengatakan prestasi adalah kemampuan. Kemampuan di sini berarti yan dimampui individu dalam mengerjakan sesuatu.
5.      Pedoman Cara Belajar
Untuk memperoleh prestasi/hasil belajar yang baik harus dilakukan dengan baik dan pedoman cara yang tapat. Setiap orang mempunyai cara atau pedoman sendiri-sendiri dalam belajar. Pedoman/cara yang satu cocok digunakan oleh seorang siswa, tetapi mungkin kurang sesuai untuk anak/siswa yang lain. Hal ini disebabkan karena mempunyai perbedaan individu dalam hal kemampuan, kecepatan dan kepekaan dalam menerima materi pelajaran.
Oleh karena itu tidaklah ada suatu petunjuk yang pasti yang harus dikerjakan oleh seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Tetapi faktor yang paling menentukan keberhasilan belajar adalah para siswa itu sendiri. Untuk dapat mencapai hasil belajar yang sebaik-baiknya harus mempunyai kebiasaan belajar yang baik.
  1. Memperkenalkan Belajar Aktif
Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan:
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya lihat, saya ingat.
Yang saya kerjakan, saya pahami.
Tiga pertanyaan sederhana ini berbicara banya tentang perlunya metode belajar aktif.
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat.
Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas dan terapkan, saya dapatkan pengetahun dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai. (Silberman, 2004:15).
Ada sejumlah alasan mengapa sebagian besar orang cenderung lupa tentang apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik ada kaitannya dengan tingkat kecepatan bicara guru dan tingkat kecepatan pendengaran siswa.
Pada umumnya guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata permenit. Tetapi beberapa kata-kata yang dapat ditangkap siswa dalam per menitnya? Ini tentunya juga bergantung pada cara mereka mendengarkannya. Jika siswa benar-benar berkonsentrasi, mereka akan dapat mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap 50 sampai 100 kata per menit, atau setengah dari apa yang dikatakan guru. Itu karena siswa juga berpikir banyak selama mereka mendengarkan. Akan sulit menyimak guru yang bicaranya nyerocos. Besar kemungkinan, siswa tidak bisa konsentrasi karena, sekalipun materinya menarik, berkonsentrasi dalam waktu yang lama memang bukan perkara mudah. Penelitian menunjukkan bahwa siswa mampu mendengarkan (tanpa memikirkan) dengan kecepatan 400 hingga 500 kata per menit. Ketika mendengarkan dalam waktu berkepanjangan terhadap seorang guru yang berbicara lambat, siswa cenderung menjadi jenuh, dan pikiran mereka mengembara entah ke mana.
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perkualiahan bergaya-ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh waktu kuliah (Pollio,1984) (dalam Sileberman, 2004:16. Mahasiswa dapat mengingat 70 persen dalam sepuluh menit pertama kuliah, sedangkan dalam sepuluh menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% materi kuliah mereka (McKeachie, 1986) (dalam Silberman, 2004:16). Tidak heran bila mahasiswa dalam kualiah psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum pernah mengikuti kuliah itu (Richard, dkk., 1989) (dalam Silberman, 2004:16). Bayangkan apa yang bisa didapatkan dari pemberian kuliah dengan cara seperti itu di perguruan tinggi.
Dua figur terkenal dalam gerakan kooperatif, Divid dan Roger Jonson, bersama Karl Smith, mengemukakan beberapa persoalan berkenaan dengan perkuliahan yang berkepanjangan (Johnson, Johnson & Smith, 1991) (dalam Silberman, 2004:17).
·         Perhatian mahasiswa menurun seiring berlalunya waktu.
·         Cara kuliah macam ini hanya menarik bagi peserta didik auditori.
·         Cara ini cenderung mengakibatkan kurangnya proses belajar mengajar tentang informasi faktual.
·         Cara ini mengasumsikan bahwa mahasiswa memerlukan informasi yang sama dengan langkah penyampaian yang sama dengan langkah penyampaian yang sama pula.
·         Mahasiswa cenderung tidak menyukainya.
Dengan menambahkan media Visual pada pemberian pelajaran, ingatan akan meningkat dari 14 hingga 38 persen (Pike, 1989) (dalam Silberman, 2004:17). Penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan hingga 200 persen ketika digunakan media Visual dalam mengajarkan kosa kata. Tidak hanya itu, waktu yang diperlukan untuk menyajikan sebuah konsep dapat berkurang hingga 40 persen ketika media Visual digunakan untuk mendukung presentasi lisan. Sebuah gambar barangkali tidak memiliki ribuan kata, namun ia tiga kali lebih efektif ketimbang kata-kata saja.
Ketika pengajaran memiliki dimensi auditori dan Visual, pesan yang diberikan akan menjadi lebih kuat berkat kedua sistem penyampaian itu. Juga, sebagian siswa, seperti akan kita bahas nanti. Lebih menyukai satu cara penyampaian ketimbang cara yang lain. Dengan menggunakan keduanya, kita memiliki peluang yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa tipe siswa. Namum demikian belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.


  1. Bagaimanakah Otak Bekerja
Otak kita tidak bekerja seperti piranti audio atauvidiotape recorder. Informasi yang masuk akan secara kontinyu dipertanyakan. Otak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
            Pernahkan saya mendengar atu melihat informasi ini sebelumnya?
Di bagian manakah informasi itu cocok? Apa yang bisa saya lakukan terhadapnya?
Dapatkah saya asumsikan bahwa ini merupakan gagasan yang sama yang saya dapatkan kemarin atau bulan lalu atau tahun lalu?
            Otak tidak sekedar menerima informasi, ia mengolah. Untuk mengolah informsi secara efektif, ia akan terbantu dengan melakukan perenungan semacam itu secara eksternal juga internal. Otak kita akan melakukan tugas proses belajar yang lebih baik jika kita membahas informasi dengan orang lain dan jika kita diminta mengajukan pertanyaan tentang itu. Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987) (dalam Silberman, 2004:18) meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman sebangkunya tentang apa yang dijelaskan oleh guru pada beberapa jeda waktu yang disediakan selama pelajaran berlangsung. Dibandingkan dengan siswa dalam kelas pembanding yang tidak diselingi diskusi, siswa-siswi ini mendapatkan nilai dengan selisih dua angka lebih tinggi.
Akan lebih baik lagi jika kita dapat melakukan sesuatu terhadap informasi itu, dan dengan demikian kita bisa mendapat umpan balik tentang seberapa bagus pemahaman kita. Menurut John Holt (1967) (dalam Silbermanb, 2004:19), proses belajar akan meningkat jika siswa dinima untuk melakukan berikut ini.
a.       Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sindiri.
b.      Memberikan contohnya.
c.       Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi.
d.      Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
e.       Menggunakannya dengan beragam cara.
f.       Memprekdisikan sejumlah konsekuensinya.
g.      Menyebutkan lawan atau kebalikannya.
Dalam banyak hal, otak tidak begitu berbeda dengan sebuah computer, dan kita adalah pemakainya. Sebuah computer terntunya perlu di-“on“-kan untuk bisa digunakan. Otak kita juga demikian. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, otak kita tidak “on”. Sebuah computer membutuhkan software yang tepat untuk menginterpretasikan data yang diasumsikan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang dimasukkan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang diajarkan kepada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan dengan cara kita berpikir. Ketika proses belajar sifatnya pasif, otak tidak melakukan pengkaitan ini dengan software pikiran kita. Ujung-ujungnya, computer tidak dapat mengakses kembali informasi yang dia olah bila tidak terlebih dahulu “disimpan”. Otak kita perlu menguji informasi, mengikhtisarkannya, atau menjelaskan kepada orang lain untuk dapat menyimpannya dalam bank ingatannya. Ketika proses belajar bersifat pasif, otak tidak menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya.
Apa yang terjadi ketika guru menjejali siswa dengan pemikiran mereka sendiri (betapapun meyakinkan dan tertatanya pemikitan mereka) atau ketika guru terlalu sering menggunakan penjelasan dan pemeragaan (demonstrasi) yang disertai ungkapan, “begini lho caranya”? Menuangkan fakta dan konsep ke dalam benak siswa dan menunjukan keterampilan dan prosedur dengan cara yang kelewat menguasai justru akan mengganggu proses belajar. Cara menyajikan informasi akan menimbulkan kesan langsung di otak, namun tanpa memori fotografis, siswa tidak akan mendapatkan banyak hal baik dalam waktu lama maupun sebentar.
Tentu saja, proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Memperlajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak dapat dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya, mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermana. Tanpa peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktekan, dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi.
Lebih lanjut, belajar bukanlah kegiatan sekali tembak. Proses belajar berlangsung secara bergelombang. Belajar memerlukan kedekatan dengan materi yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahaminya. Belajar juga memerlukan kedekatan dengan berbagai macam hal, bukan sekedar pengulangan atau hafalan. Sebagi contoh, pelajaran Seni Tari bisa diajarkan dengan media yang konkret, melalui buku-buku latihan, dan dengan mempraktekan dalam kegiatan sehari-hari. Masing-masing cara dalam menyajikan konsep akan menentukan pemahaman siswa. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kedekatan itu berlangsung. Jika ini terjadi pada peserta didik, dia akan merasakan sedikit keterlibatan mental. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahun, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang akan dia peroleh). Ketika kegiatan belajar sifat aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Dia menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.
  1. Gaya Belajar
Kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang lain melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu oleh kebisingan. Perserta didik Visual ini berbeda dengan peserta didik auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran, mereka mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tida karuan.
Tentu saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar. Grinder (1991) (dalam Silberman, 2004:22) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara Visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa siswanya sedemikan menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya. Sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang mereka sukai. Guna memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh dengan variasi.
Kalangan pendidikan juga mencermati adanya perubahan cara belajar siswa. Selama lima belas tahun terakhir, Schroeder dan koleganya (1993) (dalam Silberman, 2004:22) telah menerapkan indikator tipe Myer-Briggs (MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk memahami fungsi perbedaan individu dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa yang masuk memiliki orientasi praktis ketimbang teoritis terhadap pembelajaran, dan persentase itu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat dalam pengalaman langsung dan konkret daripada mempelajari konsep-konsep dasar terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain MBTI lainnya, jelas Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrak, dengan rasio lima banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan mengajar aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru harus menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil, presentasi dan debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan, simulasi, dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa masa kini “bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar bersama.”
Temuan-temuan ini dapat dianggap tidak mengejutkan bila kita mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern. Dimasa kini siswa dibesarkan dalam dunia yang segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar begitu menghentak merdu, dan warna-warna terlihat begitu semarak dan menarik. Obyek, baik yang nyata maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah segala sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas.
  1. Sisi Sosial Proses Belajar
Karena siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pengetahun yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan yang satu berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memiliki keamanan ketimbang pertumbuhan. Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa sepenuhnya kebutuhan untuk mencapai sesuatu mengambil resiko, dan menggali hal-hal baru. Pertumbuhan berjalan dengan langkah-langkah kecil, menurut Maslow, dan “tiap langkah maju hanya dimungkin akan bila ada rasa aman, yang mana ini merupakan langkah ke depan dari suasana rumah yang aman menuju wilayah yang belum diketahui” (Maslow, 1968) (dalam Silberman, 2004:24).
Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika mereka belajar bersama teman, bukannya sendirian, mereka mendapatkan dukungan emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang pengetahun dan keterampilan mereka yang sekarang.
Jerome Bruner membahas sisi sosial proses belajar dama buku klasiknya, Toward a Theory of Instruction. Dia menjelaskan tentang “kebutuhan mendalam manusia untuk merespon orang lain dan untuk bekerjasama dengan mereka guna mencapai tujuan,” yang mana hal ini dia sebut resiprositas (hubungan timbal balik). Bruner berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan bersama, dan di mana resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai suatu tujuan, disitulah terdapat proses yang membawa individu ke dalam pembelajaran membimbingnya untuk mendapatkan kemampuan yang diperlukan dalam pembentukan kelompok” (Bruner, 1966) (dalam Silberman, 2004:24).
Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner mengurusi perkembangan metode belajar kolaboratif yng sedemikian popular dalam lingkup pendidikan masa kini. Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka menjadi cenderung lebih telibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya bersama teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk membicarakan apa yang mereka alami bersama teman, yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut.
Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Metode belajar bersama yang terbaik, semisal pelajaran menyusun gambar (jigsaw), memenuhi persyaratan ini. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa akan mendorong mereka untuk tidak hanya belajar bersama, namun juga mengajarkan satu sama lain.
  1. Model Pembelajaran Kolaborasi
Pembelajaran kolaboratif (Colaborative Learning) merupakan model pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam teori-teori belajar (Yufiarti:2003) (dalam Sulhan, 2006:69). Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.
Pendekatan kolaboratif bertujuan agar siswa dapat membangun pengetahunnya melalui dialog, saling membagi informasi sesama siswa dan guru sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan mental pada tingkat tinggi. Model ini digunakan pada setiap mata pelajaran terutama yang mungkin berkembangkan sharing of information di antara siswa.
Belajar kolaboratif digambarkan sebagai suatu model pengajaran yang mana para siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan belajar kolaboratif, para siswa bekerja sama menyelesaikan masalah yang sama, dan bukan secara individual menyelesaikan bagian-bagian yang terpisah dari masalah tersebut. Dengan demikian, selama berkolaborasi para siswa bekerja sama membangun pemahaman dan konsep yang sama menyelesaikan setiap bagian dari masalah atau tugas tersebut.
Pendekatan kolaboratif dipandang sebagai proses membangun dan mempertahankan konsepsi yang sama tentang suatu masalah. Dari sudut pandang ini, model belajar kolaboratif menjadi efisien karena para anggota kelompok belajar dituntut untuk berpikir secara interaktif. Para ahli berpendapat bahwa berpikir bukanlah sekedar memanipulasi objek-objek mental, melainkan juga interaksi dengan oran glain dan dengan lingkungan.
Dalam kelas yang menerapkan model kolaboratif, guru membagi otoritas dengan siswa dalam berbagai cara khusus. Guru mendorong siswa untuk menggunakan pengetahun mereka, menghormati rekan kerjanya, dan memfokuskan diri pada pemahaman tingkat tinggi.
Peran guru dalam model pembelajaran kolaboratif adalah sebagai mediator. Guru menghubungkan informasi baru terhadap pengalaman siswa dengan proses belajar di bidang lain, membantu siswa menentukan apa yang harus dilakukan jika siswa mengalami kesulitan, dan membantu mereka belajar tentang bagaimana caranya belajar. Lebih dari itu, guru sebagai mediator menyesuaikan tingkat informasi siswa dan mendorong agar siswa memaksimalkan kemampuannya untuk bertanggung jawab atas proses belajar mengajar selanjutnya.
Sebagai mediator, guru menjalani tiga peran, yaitu berfungsi sebagai falisitator, model, dan pelatih. Sebagai fasilitator, guru menciptakan lingkungan dan kreativitas yang kaya guna membantu siswa membangun pengetahunnya. Dalam rangka menjankan peran ini, ada tiga hal pula yang harus dikerjakan. Pertama, mengatur lingkungan fisik, termasuk pengaturan tata letak perabot dalam ruangan serta persediaan berbagai sumber daya dan peralatan yang dapat membantu proses belajar mengajar siswa. Kedua, menyediakan lingkungan sosial yang mendukung proses belajar siswa, seperti mengelompokkan siswa secara heterogen dan mengajak siswa mengembangkan struktur sosial yang mendorong munculnya perilaku yang sesuai untuk kolaborasi antarsiswa. Ketiga, guru memberikan tugas memancing munculnya interaksi antarsiswa dengan lingkungan fisik maupun sosial di sekitarnya. Dalam hal ini, guru harus mampu memotivasi anak.
Peran sebagai model dapat diwujudkan dengan cara membagi pikiran tentang suatu hal (thinking aloud) atau menunjukkan pada siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu secara bertahap (demonstrasi) (Sulhan, 206:70-71) Di samping itu, menunjukkan pada siswa bagaimana cara berpikir sewaktu melalui situasi kelompok yang sulit dan melalui masalah komunikasi adalah sama pentingnya dengan mencontohkan bagaimana cara membuat perencanaan, memonitor penyelesaian tugas, dan mengukur apa yang sudah dipelajari.
Peran guru sebagai pelatih mempunyai prinsip utama, yaitu menyediakan bantuan secukupnya pada saat siswa membutuhkan sehingga siswa tetap memegang tanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri. Hal ini dilakukan dengan memberikan petunjuk dan umpan balik, mengarahkan kembali usaha siswa, serta membantu mereka menggunakan strategi tertentu.
Salah satu ciri penting dari kelas yang menerapkan model pembelajaran kolaboratif adalah siswa tidak dikotak-kotakan berdasarkan kemampuannya, minatnya, ataupun karakteristik lainnya. Pengkotakan tersebut dinilai menghambat munculnya kolaborasi dan mengurangi kesempatan siswa untuk belajar bersama siswa lain. Dengan demikian, semua siswa dapat belajar dari siswa lain dan tidak ada siswa yang tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan dan menghargai masukan yang diberikan orang lain.
Model kolaboratif dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika terjadi kolaborasi, semua siswa aktif. Mereka saling berkomunikasi secara alami. Dalam sebuah kelompol yang terdiri atas 4 sampai 6 anak, di sana guru sudah membuat rancangan agar siswa yang satu dengan yang lain bisa berkolaborasi. Dalam kelompok yang sudah ditentukan oleh guru, fasilitas yang ada pun diusahakan anak mampu berkolaborasi. Misalnya, dalam kelompok yang terdiri atas 4 sampai 6 tersebut seorang guru hanya menyiapkan 2 sampai 3 kotak alat mewarna yang dipakai secara bergantian. Dengan harapan, setiap siswa bisa bekomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan komunikasi aktif antar siswa, akan terjalin hubungan yang baik dan saling menghargai. Alat tersebut bukan milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik bersama. Setiap anak tidak merasa memiliki secara pribadi, tetapi bisa dipakai bersama. Pada saat yang sama mempunyai keinginan untuk memakainya maka akan terjadi komunikasi yang alami dengan penggunaan santun bahasa. Dalam kondisi seperti ini seorang guru hanya mengamati cara kerja siswa dan cara berkomunikasi serta menjadi pembimbing saat siswa memerlukan bantuan.
Untuk kolaborasi dalam sebuah mata pelajaran, seorang guru memberikan tugas secara kelompok dengan tujuan yang sama. Setiap siswa dalam kelompok saling berkolaborasi dengan membagi pengalaman. Dari pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing kelompok, disimpulkan secara bersama. Dalam hal ini, guru berperan sebagai pembimbing dan membagi tugas supaya diskusi kelompok bisa berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.
B.     Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) pengertian pembelajaran, (2) motivasi belajar meliputi motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik, (3) model pembelajaran kolaborasi.


  1. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI, 1996:14).
  1. Motivasi Belajar
a.       Motivasi Instrinsik
Motivasi instrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam individu yang berfungsinnya tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang yang memiliki motivasi instrinsik dalam dirinya maka secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya.
b.      Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbbul dari luar individu yang berfungsinya karena adanya perangsang dari luar, misalnya adanya persaingan, untuk mencapai nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.
  1. Model Pembelajaran Kolaborasi
Pembelajaran kolaboratif (Colaborative Learning) merupakan model pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam teori-teori belajar. Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama.



0 komentar:

Post a Comment